Di antara pertanyaan yang sering dilontarkan sebagian orang adalah pertanyaan, “Pilih hadist apa ucapan Syafi’i? Pilih ucapan Nabi apa ucapan seorang Syafi’i?” Pertanyaan semacam ini sering diajukan ketika ada suatu fatwa dalam mazhab Syafi’i misalkan yang  secara zahir bertentangan dengan suatu hadits. 

Kita tahu bahwa tidak akan ada seorang muslim pun yang meragukan bahwa Rasulullah saw. lebih benar dan lebih mulia dibandingkan Imam Syafi’i, dan tidak diragukan bahwa Imam Syafi’i tidak luput dari kesalahan, tidak seperti Rasulullah saw. yang dijaga dari kesalahan (ma’shum). Lantas untuk apa mengikuti Imam Syafi’i? Kenapa tidak langsung merujuk ucapan Rasulullah? Bagaimana menyikapi permasalahan ini?

Syarat-syarat orang yang diperbolehkan menyimpulkan hukum langsung kepada Al-Qur’an dan hadits (mujtahid)

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita harus memahami apakah setiap orang bisa langsung menyimpulkan hukum dari Al-Qur’an dan hadits? Jawabannya adalah tidak, karena memahami Al-Qur’an dan hadits itu membutuhkan banyak perangkat yang tidak dimiliki semua orang, di antaranya adalah: 

  • Menguasai dalil-dalil hukum dari al-Qur’an;
  • Menguasai dalil-dalil hukum dari hadist;
  • Menguasai masalah yang sudah menjadi ijma’ dan yang menjadi ranah perbedaan pendapat;
  • Menguasai qiyas;
  • Menguasai cara menyusun argumen;
  • Menguasai bahasa Arab;
  • Menguasai nasikh dan mansukh, umum dan khusus, dll. yang berkaitan dengan lafal al-Qur’an dan hadits;
  • Menguasai keadaan periwayat hadits dan bisa membedakan yang shahih dan tidak shahih;
  • Adil;
  • Cerdas, dll.  (Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith (Dar al-Kutubiy, 1994 M), juz. 8, hlm. 229 dst.)

Tentu saja tidak semua orang menguasai semua syarat tersebut, sehingga tidak semua orang bisa langsung menyimpulkan hukum dari al-Qur’an dan hadits. Maka dari itu ulama membagi-bagi muslim ditinjau dari kemampuannya untuk menyimpulkan hukum dari sumber primer Islam menjadi dua: mujtahid, yaitu mereka yang memenuhi semua syarat di atas, dan muqallid yaitu orang yang tidak memenuhi semua syarat di atas. Maka, bagi mereka yang tidak memenuhi syarat, wajib mengikuti orang yang sudah memenuhi syarat, seorang muqallid wajib mengikuti seorang mujtahid.

Argumen tentang wajibnya taqlid (mengikuti pendapat ulama mujtahid):

1. Al-Qur’an

Allah swt. berfirman:

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui.” (TQS. An-Nahl: 43)

Ayat di atas dengan jelas memerintahkan untuk bertanya kepada mereka yang berilmu bagi siapa saja yang tidak mengetahui, maka ayat di atas mewajibkan seorang awam untuk bertaklid kepada pendapat orang yang alim (dalam hal ini mujtahid) (Ahmad Dahlan al-Pacitani, Fathul Majid (Dar ash-Shalih, 2018 M), hlm. 59)

2. Hadits

Dikisahkan ketika salah seorang sahabat terluka di bagian kepala, kemudian ia mimpi basah dan bertanya kepada para sahabatnya apakah ia diperbolehkan tayammum atau tidak? Para sahabatnya menjawab, “Kami tidak mendapati keringanan bagimu selama kamu masih bisa memakai air,” akhirnya ia pun mandi dengan air dan penyakit bertambah sehingga ia pun meninggal. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah saw. dan beliau bersabda:

«قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ»

“Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah membunuh mereka[4]! Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya?”

Imam al-Khathabi sebagaimana dikuti dalam Awn al-Ma’bud penjelasan dari sunan Abu Dawud mengatakan:

فِي هَذَا الْحَدِيثِ مِنَ الْعِلْمِ أنه عابهم بِالْفَتْوَى بِغَيْرِ عِلْمٍ وَأَلْحَقَ بِهِمُ الْوَعِيدَ بِأَنْ دَعَا عَلَيْهِمْ وَجَعَلَهُمْ فِي الْإِثْمِ قَتَلَةً لَهُ

Dalam hadits ini terdapat celaan bagi mereka yang berfatwa tanpa ilmu bahkan mereka didoakan dengan sesuatu yang buruk dan dosanya disamakan seolah-olah mereka membunuhnya secara langsung.

3. Ijma’

Syekh Alisy berkata:

وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ السُّنَّةِ عَلَى وُجُوبِ التَّقْلِيدِ عَلَى مَنْ لَيْسَ فِيهِ أَهْلِيَّةُ الِاجْتِهَادِ حَسْبَمَا فِي الدِّيبَاجِ لِلْإِمَامِ ابْنِ فَرْحُونٍ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – وَعُمْدَةِ الْمُرِيدِ لِلشَّيْخِ اللَّقَانِيِّ وَغَيْرِهِمَا وَشَاعَ ذَلِكَ حَتَّى صَارَ مَعْلُومًا مِنْ الدِّينِ بِالضَّرُورَة             

Semua ulama ahlussunnah sepakat bahwa mereka yang tidak mempunyai keahlian berijtihad (menyimpulkan hukum dari dalil-dalil agama Islam) wajib untuk taqlid kepada seorang mujtahid, dan hal tersebut sudah tersebar sehingga dianggap sesuatu yang secara pasti dari agama Islam (al-ma’lum min ad-din bi adh-dharurah). (Muhammad bin Muhammad Alisy al-Malikiy, Fath al-Aliy al-Malik, Dar al-Ma’rifah, juz. 1, hlm. 90.)

Dari uraian di atas maka wajib hukumnya mengikuti seorang ulama mujtahid bagi mereka yang belum bisa menyimpulkan hukum secara langsung dari Al-Quran dan hadits. Sehingga sebetulnya dalam kasus di atas yang mempertentangkan antara hadits dengan ucapan Imam Syafi’i, yang sedang kita bandingkan bukan ucapan Imam Syafi’i dengan Rasulullah, melainkan yang sedang dibandingkan adalah pemahaman Imam Syafi’i dengan pemahaman kita terhadap hadits. Tentu pemahaman imam Syafi’i terhadap hadits jauh lebih layak diikuti dibandingkan pemahaman kita. 

Permasalahan ini masih mengandung banyak sisi yang perlu diurai dengan baik, namun uraian ini barangkali kadar yang mencukupi. Wallahu a’lam.

Penulis: Moh. Yusup Syuhada, Lc., Dipl.
(Researcher Ushul Fikih Fakultas Ulum Islamiyah, Universitas Al-Azhar)
Penyunting: Rifqi Taqiyuddin

Baca juga: Membandingkan Perbedaan Manuskrip Tuhfah al-Muhtaj