Kemajemukan manusia dari segi individu dan komunal meniscayakan perdebatan serta interaksi yang melahirkan banyak produk wawasan ataupun ilmu tertentu. Kesadaran manusia atas kemampuan menalar sesuatu dan menyimpulkan sebuah fenomena dan perkara, menciptakan makhluk-makhluk independen yang sulit untuk didikte atau pun diintervensi. Berangkat dari sinilah dimensi relativitas muncul mengisi paru-paru dan pembuluh darah manusia.

Salah satu nilai kehidupan yang menjadi bulan-bulanan para filusuf, akademisi, bahkan orang awam ialah etika dan moral. Tidak aneh karena hampir setiap detik seseorang melihat, mendengarkan, dan membutuhkan orang lain. Hal pertama kali yang mereka lihat adalah perbuatan dan segala yang keluar dari mulut seseorang, entah sesuai dengan prinsip orang tersebut ataupun tidak. 

Dengan bahasa sederhana, bahwa wujud manusia diberikan harga sesuai dengan apa yang “keluar” dari dalam dirinya. Sebagaimana Rene Descartes mengatakan manusia adalah “aku yang berpikir” bukan “aku saja”, tentu berpikir akan menghasilkan sebuah tindakan, tindakan akan menghasilkan kebiasaan, kebiasaan itu yang akan kita sebut sebagai sebuah akhlak atau moral. Sebab “manusia saja” tanpa ada embel-embel apapun mustahil menghasilkan sebuah moral dan akhlak, karena memang tidak bisa, seperti harimau yang kita sifati dengan kejujuran atau kedermawanan. 

Dari sini maka akhlak adalah topik yang bagus untuk diperbincangkan sebagai sebuah teori yang sering berubah menuju hakikat yang paten dan bisa dijadikan rujukan untuk seluruh pelaksana moral dan etika.

Moral dan Etika

Moral dalam salah satu definisi adalah suatu dorongan yang berasal dari dalam jiwa manusia untuk melakukan sebuah tindakan yang baik. Ada sebagian intelektual yang mengatakan bahwa moral adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Dari sebuah moral yang dimiliki, akan melahirkan etiket dan sopan santun seperti yang sudah kita ketahui bersama. Tentu terdapat perbedaan antara moral dan etiket, moral adalah sebuah konsep umum yang menjadi pedoman berakhlak seseorang, sedangkan etiket ialah segala hal partikular dari moral yang bersifat aksi dan berupa teknis berakhlak.

Banyak orang yang menyamakan definisi antara etika dan moral, namun nyatanya jika disebut etika, maka yang dimaksud adalah filsafat moral, sedangkan moral seperti yang sudah penulis sebutkan di atas misalnya ketika kita menghormati seorang guru.

Relativisme dan Objektivisme

Ada dua kutub besar yang saling melemparkan argumen dan kritikan terkait etika dan moral, yaitu mazhab relativisme dan objektivisme. Mazhab relativisme mengatakan bahwa setiap individu ataupun kelompok memiliki kebenaran dan sudut pandangnya sendiri. Kita tidak bisa menilai mereka dengan memakai standar yang berasal dari diri kita masing-masing. Mereka memiliki dua turunan metodologi berpikir, yang pertama adalah konvensionalisme dan yang kedua adalah subjektivisme. Konvensionalisme adalah moral yang didasarkan pada budaya dan kesepakatan sebuah kelompok manusia sedangkan subjektivisme adalah moral yang didasarkan pada kebenaran individu dalam menalar etika dan moral.

Lalu mazhab objektivisme adalah mazhab yang mengatakan bahwa kebenaran moral itu adalah satu dan tidak berbilang. Pada kali ini, penulis ingin berusaha berdiri ditengah-tengah kedua mazhab tersebut.

Relativitas sering kali digunakan untuk menjadi senjata pembenaran bagi setiap orang yang bisa memakai kemampuan akalnya. Walhasil, bagi pemegang ideologi ini istilah salah dan tidak benar adalah istilah yang sudah punah dan tidak bisa digunakan kembali. Relativitas memiliki tendensi yang radikal dan sangat berbahaya. Beberapa hal buruk yang disebabkan oleh penganut ideologi ini adalah implikasi anarki sosial yang akan meluas, karena setiap hal berpotensi untuk dibenarkan tanpa memandang baik dan buruknya.

Kaum objektif mengkritik para penganut relativitas dengan beberapa hal yaitu:

  1. Jika semuanya benar, bagaimana kaum ini menghadapi dan merespon konflik budaya?
  2. Bagaimana dengan seorang pahlawan? Bukankah ia adalah seseorang yang melawan budaya dan norma-norma setempat yang dirasa melenceng dari jalan yang lurus?

Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya kaum relativitas terjebak dalam kebodohan. Maksudnya mereka tidak bisa membedakan antara akhlak dan kebiasaan sebuah kelompok. Antara satu kelompok dengan kelompok lain pasti memiliki kebiasaan yang berbeda. Apabila di Mesir bernada tinggi artinya biasa saja, maka di Indonesia nada tinggi menandakan kemarahan. Sedangkan terkait dengan akhlak, nilai marah itu sama bagi orang Mesir ataupun orang Indonesia. Adapun manifestasi marah itu yang berbeda-beda, ada yang marah dengan bernada tinggi dan ada yang tidak.

Paragraf di atas sekaligus menjelaskan bahwa objektivisme berarti sama dalam nilai bukan dalam manifestasi. Jika objektivisme dimaknai dengan radikal, artinya menolak semua jenis manifestasi dan membuat standar akhlak menjadi satu sesuai dengan yang ia inginkan, maka itulah yang tidak bisa diterima oleh penulis. Jelas membuat satu-satunya hal untuk diberlakukan kepada seluruh orang pasti ditolak, karena setiap orang pasti memiliki logosnya sendiri (red: ilmu).

Di sisi ini, kesalahan sering terjadi karena tidak berusaha untuk menyatukan pemahaman dan definisi. Akhirnya yang membuat orang berdebat ria adalah karena perbedaan lafadz saja. Kaum relatif menganggap bahwa akhlak yang dimaksud oleh kaum objektif adalah kebiasaan sebuah kelompok sedangkan kaum objektif menganggap akhlak yang dimaksud oleh kaum relatif adalah esensi akhlak itu sendiri, sehingga tidak ada titik temu diantara mereka.

Berpikir Objektif

Imam Ghazali dalam Mihakku an-Nadhor-nya menjelaskan bahwa lafadz musytarak (maknanya berserikat di dalam banyak lafadz dan hakikatnya sama) kadang berasal dari lafad musyakkik yang memberikan konsekuensi tidak sama dan memberikan kelas. Misal seperti cahaya, karena setiap cahaya memiliki intensitas dan kelasnya sendiri.

Beliau memberikan contoh antara sebuah cahaya yang bisa diindera oleh mata muncul dari matahari atau api dan cahaya berasal dari akal yang menjadi petunjuk seseorang pada hal-hal yang samar, tidak ada perserikatan antara keduanya kecuali seperti perserikatan antara tumbuhan dan manusia dalam “ke-jism-an” atau inti-inti yang tersusun (dalam bahasa sederhana adalah tubuh).

Dari penjelasan di atas perlu dipahami bahwa cahaya matahari dan cahaya akal memang berbeda, akan tetapi mereka sama dalam satu titik yaitu memiliki jism. Beliau hanya ingin mengatakan jangan terlena untuk mencari perbedaan antara dua hal atau lebih, sempatkan untuk memahami persamaannya.

Terkadang kita juga membutuhkan beberapa sudut pandang untuk memberikan konklusi terbaik di antara yang lain. Dalam konteks ini sudut pandang diperlukan untuk tetap menjaga agar kebenaran yang ditinjau dari arah lain benar-benar dipenuhi.

Misalnya ada seseorang dari arah depan yang memandang pintu dan ada satu orang lain yang berada di sisi pintu. Orang pertama akan mengatakan bahwa pintu ini lebar dan panjang, sedangkan orang kedua pasti akan mengatakan bahwa pintu ini panjang tetapi tidak lebar. Jika orang pertama ingin melihat kebenaran orang kedua, maka dia harus berada di posisi orang yang kedua dan sebaliknya. Berbeda ketika berbicara substansi, maka kedua orang ini tidak berselisih bahwa pintu terbuat dari kayu. Dari sudut pandang mana pun pintu akan tetap kayu, inilah disebut sebagai berpikir objektif.

Kita ambil satu kasus perihal memakai sarung bagi mahasiswa yang selalu menjadi perbincangan orang ramai. Secara syariat/hakikat orang Indonesia maupun orang Mesir tidak berselisih bahwa sarung menutup aurat bawah laki-laki khususnya, ini adalah sisi objektifnya. Namun yang menjadi perdebatan ialah karena latar belakang sarung yang disinyalir sebagai pakaian yang digunakan sesaat atau setelah jima’ bagi orang Mesir, sedangkan bagi orang Indonesia sarung merupakan salah satu pakaian takwa yang digunakan untuk beribadah bagi terlebih kaum santri. Dalam hal ini, kedua manifestasi sarung berbenturan karena perbedaan budaya. 

Objektif berarti mencari kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari subjek yang berbicara ataupun budaya yang mengitari objek inderawi dan maknawi. Sangat sulit dilakukan kecuali bagi orang-orang yang mau berpikir.

Cara berpikir di atas bisa kita aplikasikan pada semua kasus yang terjadi di sekeliling kita bersama. Sebelum mencari perbedaan yang menjadi objek penalaran maka seyogyanya kita dapat menemukan titik kesamaan yang menjadi muara setiap hal.

Sekian.

Penulis: Rizky Kurniawan
(Mahasiswa tingkat 4 Jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an Universitas Al-Azhar)

Penyunting: Rifqi Taqiyuddin