Semua dari kita tentu akan sepakat, bahwa Islam itu adalah Jamil wa Kamil Awy, iya kan? Iya dong… Masa nggak. Karenanya sudah barang pasti semua hal hatta perkara remeh temeh seperti masuk hammam saja telah memiliki aturan. Tidak terkecuali perkara yang bersifat hubungan antar banin dan banat, ia pun memiliki seperangkat pedoman yang harus ditegakkan.

Namun sayangnya, tampak sekali bahwa sekarang pedoman interaksi tersebut seolah ditinggalkan dan dicampakkan. Gak usah dijelasin panjang lebar deh, sebab hal tersebut seolah sudah menjadi hujan fakta yang tiada habisnya dan tidak berkesudahan. Karenanya, di sini saya ingin memberi nasihat sekaligus ngajak mikir kepada sesama teman-teman sebagai thalib azhar untuk memperhatikan interaksi antar lawan jenis. 

Sebab di sini judulnya adalah berpikir, maka saya menghindari adanya penggunaan dalil nashi. Karena saya yakin, kita sebagai pelajar Islam, pastinya sudah tau akan dalil-dalil larangan ikhtilat, khalwat, pacaran, apalagi ke OYO yang menyatakan jelas-jelas haram, ya kan?

Ada Syekh yang Udah Notice, Masa Mau Gini Terus?

Semua tentu mengetahui, selama ini nama besar Masisir sudah sangat dikenal oleh masyarakat Mesir secara luas sebagai “ahsanun nas”. Tidak hanya oleh masyarakat biasa, bahkan sebagian masyaikh pun mengakui hal tersebut. Namun sayangnya, kini nama besar tadi sedikit demi sedikit tercoreng dan tidak lagi semerbak wanginya.

Salah satu buktinya adalah ada sosok Syekh yang tentu sudah sangat masyhur dikalangan wafidin yakni Syekh Hisyam Kamil yang terang-terangan menyindir mahasiswa Indonesia. Pada 12 Februari 2024 kemarin, pasca majelis pembacaan kitab As-Syifa fi Ta’rifi Huquqil Mustafa, beliau menjelaskan di depan banyak hadirin dari berbagai macam negara bahwa pelajar Indonesia telah melenceng, hal ini didapati karena banyaknya di antara mereka yang ikhtilath di kafe-kafe mereka.

Dengan adanya perkataan beliau ini, harusnya menjadi tamparan yang membuat kita malu dengan status kita sebagai pelajar agama calon pewaris nabi yang belajar di Al-Azhar. Kalau ada masih yang nggak malu, ya berarti mungkin urat malunya sudah putus. Mau sampai kapan kaya gini terus? Apakah perlu sampai nanti para syekh lainnya banyak yang tahu dan di-notice langsung Grand Syekh? Masa sih mau kaya gitu?

Sekarang ada sebuah pertanyaan, terkhusus bagi antum yang pernah mondok, saya yakin bahwa di pondok kita semua, para asatidznya berusaha menjaga betul interaksi kita dengan lawan jenis, buktinya, jika ada yang kedapatan ketemuan, chatting-an, atau pacaran, oleh Kyai atau salah satu Asatidz pastinya dihukum, iya kan? Atau bahkan mungkin sampai ada yang dikeluarkan dari pondok, betul gak? 

Karenanya saya yakin interaksi antar lawan jenis dianggap sangat tabu oleh thullab ilmi di lingkungan pondok yang islami, anak pondok pastinya malu kalo kedapatan melakukannya. Nah, ayo dong coba kita tumbuhkan lagi rasa malu tersebut seperti saat di pondok dulu, bukan sebagai tholib ilmi saja, tapi sebagai seorang muslim yang sudah memiliki pemahaman keislaman yang benar.

Iya Tahu, Itu Fitrah

Ketertarikan, saling suka, ataupun jatuh cinta itu semua adalah fitrah, tidak mungkin dan sulit rasanya kita mengelak. Dalam interaksi antar lawan jenis, sebut saja jalan-jalan bareng almamater, rapat, nongki, atau bahkan ketika dars yang tergolong ikhtilath yang diperbolehkan pun saya yakin pernah terbesit dibenak salah satu dari mereka keterpincutan. Jika bukan laki-laki nya yang ngarep, ya pasti perempuan nya yang ngarep, apalagi kalo cakep.

Baca juga: 4 Batasan Interaksi Pria dan Wanita

Nah, tinggal bagaimana kemudian kita yang mengelola persoalan fitrah ini nih. Apakah memang mau tetap disibukkan oleh hal-hal tersebut yang merupakan distraksi akan fokus kehidupan? Atau mau berdedikasi dan mengenyahkan pengecoh fokus ini untuk menjadi sosok yang diidam-idamkan? 

Karena sebagaimana yang dikatakan sebuah quotes “masa depan kalian, ditentukan dari kesibukan kalian hari ini”, ya kali kita mau jadi ahli ngomong dengan lawan jenis bre…

Inget Larangan Allah Dah!

Kalaupun memang tidak ada ketertarikan antara kedua lawan jenis, atau salah satunya yang sudah saya sebutkan di poin sebelumnya, maka cukuplah larangan Allah yang sudah dijelaskan di banyak tempat sebagai alasan agar kita mengelola salah satu fitrah yang telah Allah berikan ini. Semoga dengan yang manut atas salah satu pedomannya ini, kita dapat  mendapatkan ridho-Nya.

Di bulan ramadhan yang merupakan event taubat ini, apakah tidak rugi kalo kita masih lakukan hal-hal yang tergolong taqarrub zina? Masa sih kita harus kena apes dulu baru pingin taubat? Apakah yang laki-laki harus viral dulu dan yang perempuan harus hilang kehormatannya seperti kasus yang sedang hangat baru-baru ini di instagram? Bukankah Allah sudah berjanji akan memberi ganti yang lebih baik kepada mereka yang meninggalkan sesuatu larangan karena-Nya?

Akhirul kalam, semoga Allah membuat kita disiplin akan jalan kebenaran yang sedang ditempuh ini. Dan semoga tulisan saya ini juga bisa merubah atau minimal tanbih yang menjadi pemicu kesadaran kita semua. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.

Penulis: Muhammad Hanif Azim
Mahasiswa Fakultas Dirasah Islamiyah Universitas Al-Azhar

Penyunting: Rifqi Taqiyuddin