Setelah membaca asal-usul keputusan kepergiannya ke Mesir dan sekilas pengalaman hidup di sana, kali ini kami ingin menyajikan cuplikan wawancara yang lebih berkaitan dengan ilmu Dr. Ahmad Ikhwani Syamsuddin dan perjalanannya dalam menempuh ilmu yang dibidanginya hingga mencapai gelar doktoral.

Selamat membaca.

Mengapa Memilih Hadits?

Saya sudah sejak tahun pertama ingin memilih hadits. Ketika itu, saya bersepakat bersama 4 teman untuk sama-sama mengambil ilmu hadits. Sejak saat itu kami sering mendiskusikan masalah hadits serta tema-tema yang ada di dalamnya.

Adapun mengapa saya memilih hadits, saya dulu pernah masuk Syariah ketika di Yogyakarta. Saya lihat, (di Syariah) kok banyak khilaf atau perbedaan antar para ulama. Nah, terus saya berpikir, kayaknya yang jarang ada khilaf di hadits, nih. Selain itu, hadits juga merupakan salah satu dalil yang penting dalam fiqih, dan yang mendalami kajian hadits di Indonesia sepertinya masih jarang.

Sebagai informasi juga, dulu, di Fakultas Ushuluddin itu beda dengan sekarang yang bisa memilih jurusan sendiri. Dulu, setiap mahasiswa dipilihkan oleh pihak kuliyyah (ke dalam satu jurusan) berdasarkan nilai tertinggi yang antum miliki. Semisal antum waktu tingkat 2 ketika ujian nilai tertingginya di Dakwah, nanti antum akan dimasukkan ke Fakultas Dakwah. Begitu juga fakultas yang lainnya.

Waktu itu, saya dan teman-teman menemui bagian administrasi untuk menanyakan bisa/tidaknya memilih fakultas. Kata mereka, bisa, yang penting kami mengajukan permohonan sebelum muncul pengumuman fakultas yang akan dipilihkan. Kami pun buat permohonan, akhirnya kami masuk hadits semua.

Menulis Disertasi Sampai 5 Tahun, Mengapa?

Risalah disertasi Dr. Ahmad Ikhwani sebanyak 2 jilid. Isinya kurang lebih 1500 halaman.

Saya mulai menulis disertasi itu sejak tahun 2013. Begitu selesai akhir tahun lalu, saya baru bisa mengajukan ke munaqisy Februari 2019 lalu. Tapi munaqosyah baru bisa dilaksanakan bulan Juli 2019 ini.

Jadi, di Al-Azhar itu, proses menuju munaqosyahnya lumayan lama. Selesai kita mengajukan risalah, nanti ada yang Namanya ijtimaqism (rapat pembentukan panitia munaqosyah tingkat jurusan). Semisal bulan ini selesai menulis, maka baru bisa minta agar dibentuk panitia itu sebulan setelahnya.

Setelah itu, ada lagi lagi ijtima’ kuliyyah (rapat pembentukan panitia munaqosyah tingkat fakultas). Setelah ini disetujui, baru menuju tingkat jami’ah (universitas). Kadang masing-masing antar ijtima’ ini memerlukan jarak yang tidak sebentar, bisa satu bulan lebih.

Ditambah lagi, sempat ada kesalahan teknis dari saya, karena hal ini, diundur sampai 3 bulan. Setelah semuanya terlalui, baru saya bisa menyerahkan risalah (disertasi) saya kepada para munaqisy (penguji) untuk dibaca.

Kalau cerita mengenai mengapa sampai bisa hampir 5 tahun penulisan itu, sebetulnya target awalnya hanya 3 tahun sudah selesai. Tapi terkadang kondisi dan kenyataan berkata lain. Jadi kita jalani saja.

Misalnya, karena saya sudah berkeluarga, jadi waktu juga pastinya terbagi untuk mencari ma’isyah. Nggak jarang juga ada tamu-tamu dari Indonesia, biasanya dosen-dosen universitas, yang juga harus ditemani saat pelatihan dan sebagainya. Sama beberapa kali saya juga safari Ramadan ke Italia dan pernah juga menjadi tenaga musiman (temus) haji. Di masa-masa itu, otomatis saya berhenti sementara dari menulis disertasi.

Oh iya, ketika S2 atau menyelesaikan thesis, juga dibarengi menerjemah sejumlah buku. Jadi cukup terbagi waktunya. Total yang saya terjemah baru 33 buku. Belum banyak. Tapi saya jarang mendokumentasikan buku terjemahan saya sendiri. Jadi hanya ada beberapa yang di Mesir.

Cerita Magister dan Kerja dengan Orang Mesir

Kalau S2 saya memang cukup lama. Kurang lebih 10 tahun. Ini karena banyak faktor juga.

Setelah tamhidi selama 2 tahun dan mencari judul tesis selama 1 tahun, nahketika menulis thesis, ternyata radio pemerintah Mesir membuka lowongan untuk penyiar. Saya kemudian ikutan tes, dan ternyata diterima. Padahal aslinya cuma mau menemani kawan tes di sana. Sedang kawan saya malah nggak diterima. Saya jadi penyiar di radio itu sampai kurang lebih 4 tahun.

Belum selesai masa jadi penyiar radio, ada seorang kawan di Darul Ifta’ yang meminta saya untuk menjadi editor terjemah untuk Darul Ifta’. Saya awalnya menolak karena masih ada kerjaan di radio. Tapi, sang kawan memaksa, katanya, “Artikel-artikelnya nggak akan bisa diterbitkan kalau nggak diedit.”

Akhirnya saya bertemu dengan Sekretaris Mufti dan berbincang masalah ini. Di ujung pembicaraan, Sekretaris memaksa, “Udah, pokoknya kamu harus mau, ya.” Setelah itu jadilah saya editor di Darul Ifta’ dari tahun 2007 sampai 2011. Berhenti saat ada revolusi Mesir yang pertama itu.

Di sana saya mengantor kayak orang Mesir. Di sana saya banyak menerjemah buku. Jadi, risalah thesis udah hampir nggak terpegang lagi. Sebetulnya, S2 itu kalau diseriuskan 4 tahun cukup. Tapi, terkadang kita terlena. Haha. Walau di satu sisi memang kebutuhan juga plus pengalaman bekerja dengan orang Mesir.

Menyenangkan bekerja dengan orang Mesir itu. Apalagi kalau dalam posisi yang bisa dibilang muhtarom. Ketika di penyiaran, saya dan teman-teman sering diutus untuk mewawancari para tokoh yang datang dari Indonesia ke Mesir. Sering juga diutus ke muktamar-muktamar yang diadakan di Mesir untuk meliput berita.

Baik di penyiaran maupun Darul Ifta’, saya dikategorikan sebagai tenaga ahli asing. Jadi legal, bukan ilegal, karena mereka sendiri yang meminta.

Kalau mau bekerja dengan orang Mesir, modal utamanya yang paling penting adalah bahasa.

Di radio itu, tesnya adalah tes tulis menerjemah teks bahasa Indonesia ke bahasa Arab, dan sebaliknya. Sedangkan tes lisannya adalah dengan wawancara dengan bahasa Arab, terjemah langsung, dan sebagainya. Ini semua, harus punya modal bahasa Arab yang cukup baik.

Kalau saya sendiri, sejak dulu memang suka baca koran dan sudah menerjemah buku. Jadi, walaupun waktu daftar nggak begitu niat, tapi ternyata keterima. Ini saya cerita biar antum semangat belajar bahasa Arab.

Suka-Duka Dibimbing Disertasi oleh Prof. Musthofa Abu Imaroh dan Prof. Shahata Abdul Aziz?

Sukanya, beliau-beliau baik, terutama Prof. Musthofa. Beliau orangnya perhatian dan ke-bapak-an. Bahkan ketika menjelang sidang pun beliau tanya “Butuh uang nggak?”. Butuh ya butuh, cuma malu (untuk minta) ‘kan.

Hanya saja, beliau sangat detail dan ketat dalam mengoreksi. Tapi, ya enak. Beliau juga banyak tahu referensi. Jadi kalau butuh rujukan tinggal tanya beliau.

Dukanya apa, ya? Saya sendiri lebih cenderung merasakan sukanya saja. Kalau dukanya, nggak terlalu saya pikirkan. Bukankah itu konsekuensi kita menuntut ilmu? Yang penting siap mental, apalagi karakter orang Mesir kebanyakan gampang marah, walau gampang (pula) memaafkan.

Kelebihan para masyayikh adalah ke-tawadhu‘-annya. Walaupun beliau mengajarnya sudah level internasional,  sering keluar negeri untuk mengajar, tapi beliau tetap ramah dan mudah didekati oleh para pelajar ini.

Jadi, manfaatkan kesempatan ini dengan mendekat pada beliau-beliau ini, gali ilmunya, dan barokahnya.

Kalau punya senior yang dekat dengan beliau-beliau, temani mereka biar ikut dekat dengan masyayikh. Yang penting harus meningkatkan kemampuan bahasa Arab.

Bersambung