Oleh: Gaza Satria Lutfi
(Penerima Beasiswa Kemenag tahun 2021)

Sebelum kita bicara ngalor-ngidul, disclaimer dulu ya bahwa tulisan ini tidak mewakili setiap orang yang menerima beasiswa Al-Azhar Asy-Syarif melalui jalur Kemenag. Ini hanyalah sekedar tulisan pribadi yang tidak ngajak-ngajak orang lain. Tapi ya, kalau orang lain merasa, berarti kita ya serasa dan senasib, okeee.

April 2021, pendaftaran beasiswa “Kemenag” untuk mahasiswa yang ingin berkuliah di Al-Azhar resmi dibuka. Karena aku orang yang suka eksplorasi, mari kita coba tes ini! Setelah tetek-bengek tes dan wawancara, akhirnya pada Mei 2021, tepatnya dua mingguan setelahnya, dibagikanlah hasil seleksi yang dilakukan oleh Kemenag. Alhamdulillah, aku lulus dan berada pada nomor 16 dari sekitar 1500-an peserta yang mengikuti tes. Artinya aku mendapat beasiswa untuk bisa melanjutkan studi ke Mesir, karena 20 peserta terbaik berhak mendapatkan beasiswa. “Beasiswa Kemenag,” katanya.

Dalam surat pengumuman Kementrian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam nomor: B-1400/Dt.I.III/PP.04/05/2021, dalam poin A. Mesir nomor 4, dinyatakan bahwa: 

“Beasiswa sebagaimana dimaksud adalah bantuan bagi peserta dari pihak universitas berupa biaya hidup (makan), asrama, dan bebas biaya kuliah sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pihak universitas. Selain hal tersebut menjadi tanggung jawab peserta itu sendiri.”

Cetak tebal ditambahkan, dari pengumuman itu sudah jelas bahwa ini bukan beasiswa Kemenag dong. Kemenag hanya sebagai perantara, dan beasiswa itu dari Al-Azhar. Dan mungkin inilah yang banyak disalahpahami oleh Mas-Mas dan Mba-Mba yang sekarang sedang mencari beasiswa ke luar negeri, khususnya yang ingin berkuliah ke Al-Azhar.

Jika melihat dari isi surat keputusannya, Kemenag mungkin sudah menekankan itu berkali-kali, tapi ya gimana… kita sudah kadung menyebutnya beasiswa Kemenag. Sama seperti kita menyebut beasiswa PBNU dan beasiswa Kedubes di sini. 

Lepas Tangan

Mungkin ada yang bertanya, setelah pengumuman itu lalu apa? Ya… lalu lepas tangan dari pihak Kemenag donggg, hehe. Kita hanya diarahkan untuk pergi ke OIAA guna mengikuti pemberkasan dan lain-lain. Ah, tentu kami sangat berterimakasih kepada OIAA yang telah mengurus berkas-berkas sehingga kami bisa kuliah di sini. Dan sebenarnya, terimakasih lebih juga harusnya ditujukan kepada KPBA (Komite Pemberkasan Beasiswa Al-Azhar) dari FPIB (Forum Pelajar Indonesia Buuts) yang telah–secara sukarela–mengurus pemberkasan beasiswa kami.

Setelah pengumuman mendapat beasiswa di Mesir, siapa sih yang gak excited untuk segera ngurus-ngurus dan siap-siap berangkat. Iya dong. Buru-buru ngurus paspor, tanya-tanya yang sudah pernah kuliah di sana, lihat-lihat video tentang kuliah di Mesir, aaahhh, pokoknya semuanya kita lakukan. Seakan kita pindah ke dimensi lain dan hidup dalam imajinasi bahwa kita sudah kuliah di sana karena sensasi serta rasa kebahagiaan yang kuat.

Laluuu…. semua berubah ketika negara api menyerang, eh salah, maksudnya berubah ketika waktu lambat laun mulai berlalu. Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Sensasi sudah tak terasa lagi. Semangat, ya mungkin padam sedikit-sedikit. Lelah itu pasti, cuman dikuat-kuatin aja. Tak ada kabar, tak ada berita, tak ada koordinasi, tak ada persiapan, karantina, atau apalah itu yang bisa bikin kita itu tetap semangat untuk mempertahankan beasiswa ini. Kata-kata “Kapan berangkat?” adalah makanan pokok bagi kami. Jawaban dariku pun cuman statis dengan “Gak tau nih, masih nunggu kabar“, kadang sedikit berani memberanikan diri untuk mengatakan “Bulan tertentu” karena dapat kabar burung demikian.

Juni 2023, akhirnya untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bandara. Setelah perjalanan panjang lintas benua, sampailah aku di Mesir. Ah… Penantian panjang yang tak sia-sia.

Di Mesir, ternyata penerima beasiswa ditempatkan di asrama khusus yang dinamakan مَدِيْنَةُ الْبُعُوْث الإِسْلاَمِيَّة atau Islamic Missionary City, yang berisi utusan-utusan dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia yang mendapatkan beasiswa dari Al-Azhar. Megah, full fasilitas, dan diberi uang saku bulanan juga. Bahkan diberi tiket liburan pulang-pergi. Ah, terlihat megah dan gagah deh pokoknya.

Tapi, bukan itu pokok pembahasannya. Itu fasilitas materiil. Ya, fasilitas yang gak ada kaitannya secara langsung dengan pembelajaran. Padahal kita di sini itu dikenal dengan “Beasiswa” atau “Buuts” yang kadang kita aja sendiri takut  kalau ditanya tinggal di mana dan mau jawab “Buuts”. Pandangan orang tentang beasiswa itu ya harus orang-orang yang pinter, calon ulama mutafannin, dan berwawasan luas. Karena tesnya kan memang mereka dapet 20 besar. Berat rasanya ketika dapat gelar “Penerima Beasiswa Full Universitas Al-Azhar” apalagi nanti ketika sudah pulang ke tanah air. 

Terjun Bebas

Apatisnya pemerintah setelah memberikan beban berat dalam surat keputusan penerima beasiswanya juga sangat disayangkan. Seperti yang sudah kuceritakan tadi. Habis pengumuman, ya langsung lepas tangan, kita sering membahasakannya dengan “Terjun bebas”. Yaaa, emang kayak terjun bebas beneran, hehe. Dilempar tanpa parasut. Jadi namanya bukan terjun payung yaaa.

Padahal semuanya tahu lho, bahwa menunggu beasiswa Al-Azhar ini satu sampai dua tahunan. Sudah tahu begitu, tapi ya panggah dilepas aeee. Maksudnya kan ya kalau sudah tahu nunggunya akan segitu, minimal dikasih pengarahan tah, pembekalan, atau apalah itu yang bisa menguatkan kita dalam menetapkan tujuan dan membawa beban berat ini. Misalnya pengarahan tentang orientasi ke depan untuk bangsa Indonesia karena kita sebagai penerima Beasiswa Kemenag. Pembekalan untuk belajar di Mesir seperti pembekalan bahasa, pengenalan sistem pembelajaran dan kiat-kiat sukses belajar di Mesir. Atau bisa juga karantina di tempat khusus selama menunggu agar kita semakin dekat dan kenal dengan teman-teman kita. Ya, karantinanya kan bisa diisi macem-macem, dan bermanfaat juga kan pasti.

Dalam sebuah beasiswa di Turki itu ada sebuah tes yang sangat selektif dan sesuai dengan beban berat yang akan ditanggung. Dari mulai tes TOEFL, membuat esai, mottivation letter, dan wawancara selama 40 menitan. Salah satu yang ditanyakan adalah rencana lima tahun mendatang, dua puluh tahun mendatang, pengaruh beasiswa terhadap kemajuan negara, kontribusi terhadap bangsa, dan sebagainya.

Yaa, walaupun boleh dikatakan kalau beasiswa Turki itu yang ngasih negara Indonesia, jadi wajar kalau ditanya seperti itu. Kalau ini kan yang ngasih Al-Azhar, jadi gak perlu ada gitu-gituan. Ya Allah segitunya kah, hehe. Kita-kita juga cinta lho terhadap bangsa Indonesia. Pengen bangsa Indonesia maju. Pengen berkontribusi terhadap Indonesia Emas 2045. Iya, cuman pengen doang. Gak semangat. Gak bertekad. Dan gak berarah.

Coba aja ya, dua tahun nunggu itu digunakan Kemenag untuk memberi pembekalan, pengarahan dan penguatan kebangsaan, pasti kan akan lebih jelas nanti arahnya harus gimana. Kemudian setelahnya dipantau dan diajak ketemu, bukan untuk keren-kerenan karena diajak ketemu pihak Kemenag dan diperhatikan lebih. Tapi, untuk kembali menetapkan arah kompas yang benar ketika kita di sini dan menguatkan rasa kebangsaan. Dengan diperhatikan oleh seseorang, rasa akan muncul dari hati. Begitu pun kalau diperhatikan negara. Yak betul, hal itu tidak terjadi dan yang terjadi justru sebaliknya, kita semakin mencar-mencar dengan arah yang semakin berbeda-beda.

Sebenarnya agak aneh tulisan tentang beasiswa ditulis oleh penerima beasiswa, karena nanti kesannya kurang bersyukur lah, caper lah, minta diistimewakan lah, banyak lah pokoknya. Jadi memang harusnya tulisan ini ditulis oleh orang yang gak menerima beasiswa agar gak menimbulkan konotasi negatif. Tapi, tapi, sehabis ngobrol dengan orang yang non-beasiswa kemarin, dia aja kaget kalau kisah nyatanya seperti ini, haha. Artinya, dia juga membayangkan hal-hal yang aku bayangkan di atas. Bayangannya ya, beasiswa Kemenag itu difasilitasi, diperhatikan negara, dan akomodasi ditanggung semua.

Ya, oke itu bukan beasiswa Kemenag jadi mereka tak bertanggung jawab. “Kita kan cuman perantara”. Tapi yo mosok sampai tak seacuh itu. Di depan matamu itu ada 20 terbaik yang sudah kamu tes sedemikian rupa. Artinya mereka itu punya potensi, ya cuman potensi! Butuh arahan, butuh asahan. Fakta jelas depan mata saja apatis. Bagaimana mau mengurus saudara-saudara kita yang samar-samar kebutuhan dan kesulitannya.

Balik lagi. Aku bukan mau diperhatikan kok. Semua bayangan ini ga perlu diterapkan untuk angkatanku atau senior-seniorku. Gak sama sekali! Aku cuman membayangkan adik-adikku nanti mendapatkan perhatian seperti itu. Beasiswa kan ada tesnya ya? Yang diambil juga 20 terbaik. Berarti adik-adikku nanti adalah 20 terbaik dari ribuan orang yang ikut tes. 20 terbaik yang akan melanjutkan studi di Universitas bergengsi Al-Azhar Asy-Syarif. 20 orang yang memiliki potensi besar. Masa memperhatikan 20 orang aja ndak bisa sih. Ini kan SDM yang kamu harapkan untuk realisasi Indonesia Emas 2045 yang digaung-gaungkan terus itu. Menggaungkan Indonesia Emas, tapi yang jelas depan mata seperti ini saja tak acuh. Duhhh… ini Indonesia Emas atau Indonesia Gemas? Kalau negara sudah apatis terhadap rakyatnya, bagaimana bisa rasa kebangsaan itu tumbuh di hati rakyatnya?

Penyunting: Rifqi Taqiyuddin

Baca juga: Mesir, antara Ekspektasi dan Realita