Dengan penuh rasa bahagia Ziya mengabarkan hasil kelulusan kepada kedua orang tuanya, ia lulus di Universitas Indonesia, Jakarta jurusan Arsitektur. Ziya emang terkenal pandai dalam menggambar dan menghitung di kelas IPA. Bahkan dia adalah lulusan terbaik di SMA elite Jakarta Selatan.

“Abi, Ziya diterima di UI (universitas Indonesia), Bi,” suara Ziya di sebrang sana bersama teman-temannya yang terdengar begitu riang. Abi hanya terdiam, karena memang memiliki anak gadis berprofesi arsitek bukanlah sebuah harapan yang diinginkan.

Lalu sang Abi hanya berkata, “Alhamdulillah, mau pulang ke rumah kapan?”

“Insyaallah nanti sore Ziya langsung pulang ke rumah.”

***

Setibanya di rumah, Ziya masih dengan wajah sumringah dan memeluk adik-adiknya. Karena satu dari seribu mimpi besarnya sudah berhasil ia taklukkan. Namun ia tidak menyadari sama sekali wajah datar sang Abi yang menandakan tidak begitu bahagia.

Sang Abi tidak kuasa menyampaikan ketidak setujuannya dan menghentikan mimpi-mimpi besar buah hatinya. Beliau pun tahu betul perjuangan mati-matian yang sudah dilakukan sang buah hati hingga bisa dititik ini.

Tetapi dari hati yang terdalam, sang Abi justru khawatir dan tidak sama sekali merasa bangga dengan kecerdasan buah hatinya dalam ilmu menggambar. Karena Ziya adalah anak perempuan sulung pengganti Uminya, sang Abi tidak muluk-muluk pada Ziya untuk menjadi arsitektur luar biasa, hanya berharap putri sulungnya tumbuh menjadi wanita salihah yang berada dalam rumah dan memiliki hafalan qur’an dengan sempurna. Lalu mendidik adik-adik serta anak-cucunya kelak menjadi ahli qur’an. Hanya itu, yang Abi inginkan dari putri sulungnya.

Sejak kecil, Ziya memang lebih menonjolkan bakat kecerdasan dalam bidang umum. Sehingga ia tidak pernah mau dimasukkan ke dalam pesantren oleh Abinya. Abi hanya bisa mengalah melihat ambisius sang anak yang memang cenderung kuat keinginannnya. Hingga lulus SMA Abi hanya membiarkan Ziya menuruti jalan mimpinya, karena percuma jika Abi berbicara, Ziya selalu memiliki alasan kuat untuk mempertahankan idealismenya.

Sejatinya Abi dan Ziya adalah pribadi yang sama; sifat dan waktaknya. Abi yang juga seorang Arsitektur ingin membuka lembaran baru dalam keluarga kecilnya setelah di tinggal sang istri meninggal dunia. Juga dikarenakan penyesalannya di masa lalu ketika Abi berhasil memperjuangkan idealisme dari bakatnya namun bertolak belakang dari idelisme sang Kakek. Maka hanya penyesalan yang terjadi ketika perjuangan sang Kakek tidak bisa dilanjutkan oleh Abi.

Abi masih membiarkan Ziya dengan segudang impian dalam dunianya. Hingga akhirnya sang Abi di rawat di rumah sakit karena mengidap kanker paru-paru stadium 3. Di sela waktu ketika Ziya menjaga Abi yang sudah sadar setelah koma selama 5 hari, Abi berkata dengan begitu lirih.

“Zi, selama Abi tidur abi bermimpi Zia sedang mengaji di Masjid Al-Azhar Mesir, di sana banyak peninggalan sejarah tentang arsitektur bangunan yang luar biasa. Tapi Abi liat Ziya sedang mengaji bersama masayikh bukan sedang merancang sketsa arsitek.” Ziya terdiam, dan masih terus menyimak ranah pembicaraan Abinya.

“Dulu kakek adalah seorang pendakwah yang masyhur di Jakarta, kakek banyak memasukkan orang-orang kedalam agama Islam, namun entah kenapa Abi memilih jalan berbeda dari kakek, Abi lebih suka menjadi arsitek yang memainkan otaknya di sebuah ruangan ber-AC dari pada harus terjun lapangan untuk berdakwah.

Dengan penuh perjuangan Abi mempertahankan idealisme Abi. Hingga Abi sukses menjadi arsitek. Setelah Abi menikah dengan Umi, yang alhamdulillah banyak mencerahkan Abi perihal agama. Abi mulai peduli untuk membenahi moral dan akhlak anak-anak di sekitar komplek dengan membuka kajian seminggu sekali, dan kesahariannya di isi Umi untuk mengajarkan anak-anak kecil mengaji.

Namun, tak lama Umi meninggal dunia, Abi sudah tidak lagi mengisi kajian. Dan musala itu, hanya menjadi tempat beribadah saja. Tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar agama di dalamnya.

Kamu dan adik-adik diurus Budhe Minah (pembantu di rumah) sedangkan Abi bekerja di kantor menjadi arsitek, membiarkan Ziya berkembang seperti Abi, namun sejujurnya Abi tidak bangga Ziya menjadi seperti Abi (Abi menghela nafas).

Nak, Abi ingin kamu fokus memperdalam ilmu agama, siapa lagi kalau bukan kamu yang meneruskan perjuangan Kakek? Abi sudah gagal Nak, Umi mu sudah meninggal, adik-adik masih terlalu kecil, setidaknya sebelum Abi meninggal Abi sudah tenang melihat kamu dalam keadaan yang baik,” tatap Abi lekat sambil memyampaikam isi hatinya dengan suara yang parau.

Ziya menangis. Tak tahu harus berkata apalagi. Tiba-tiba sang dokter datang dan menyuruhnya keluar.

Tak sadar dengan segala kepenatanyna di Rumah Sakit, ternyata esok adalah Hari Raya Iduladha. “Aku mungkin harus pulang, mengambil barang-barang agar bisa menjalankan salat Id di masjid terdekat rumah sakit,” batin Ziya.

Keesokan harinya, gema takbir mulai bersahutan menyambut pagi hari yang begitu cerah. Diperjalanan menuju Masjid, Ziya meneteskan air matanya, sementara kedua adiknya yang terlihat riang melantunkan takbir bersama Budhe Minah yang selalu menjaga mereka.

Selepas melaksanakan sholat Id, pergilah mereka menuju Rumah Sakit. Terlihat sekumpulan sapi dan kambing yang akan dikurbankan oleh orang-orang di sekitar mereka. Tiba-tiba Ziya mengingat kisah sejarah yang melegenda di Zaman Nabi; Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Kisah itu seolah dibisikan pada telinganya, tentang sebuah pengorbanan, oleh suara hati nurani yang mencoba menasihati dirinya sendiri.

“Jika Nabi Ismail saja rela berkorban disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) demi mengharap ridha Allah, lalu apalagi alasanmu untuk tidak berkorban menuruti keinginan orang tuamu? Masikah merasa pengorbananmu begitu berat? Dengan hanya mengorbankan idealismemu? Dengan hanya merubah jalan hidup yang lebih baik untuk akhiratmu? Dengan hanya pergi jauh ke negeri orang, yang itu sendiri malah membuatmu lebih berpengalaman? Apalagi alasan untuk tidak mau berkorban? Sungguh pengorbananmu untuk mendapat ridha Allah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan Nabi Ismail yang harus disembelih ayahnya. Beliau ikhlas dan ridha melakukan perintah tanpa mengelak sedikit pun. Ayolah Ziya, jangan keras kepala” kata sang hati menasihati.

Allahu akbar, Allahu akbar

Allahu akbar

Laa ilaaha illallahu Allahu akbar

Allahu akbar walillahil hamdu…

Tangis Ziya pun semakin menjadi mendengar gema takbir yang mengkisahkan kisah pengorbanan anak untuk sang Ayah. Turunlah Ziya dari mobil dan segera menemui Ayahnya. “Bismillah, Allahu akbar.” batinnya dalam hati memantapkan tekad.

“Abii” Ziya berlari masuk ke kamar Abi. Namun Abi tidak ada di ruangan tersebut. “Suster, Dimana Abi?” tanya Ziya histeris.

“Ayah kamu koma lagi, sekarang beliau berada di ruang ICU”

“Koma lagi? Kenapa tidak mengabari?” Ziya sedikit emosi.

“Ketika pihak rumah sakit mengabari, tidak ada yang bisa dihubungi dari pihak keluarga Pak Zakaria” jelas perawat itu dengan tenang.

“Baiklah kalau begitu, antarkan saya ke ruangannya, saya ingin melihat Abi saya” pinta Ziya yang semakin tumpah air matanya.

Tidak peduli melihat Abi yang belum sadar, Ziya tetap menyampaikan isi hatinya. “Selamat Hari Raya Iduladha bi, maafin Ziya selama ini tidak pernah mempedulikan keinginan Abi. Ziya terlalu egois dengan idelisme diri sendiri. Padahal puncak kesuksesan seorang anak tidak lain adalah untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Maafkan Ziya jika selama ini akademik dan kesuksesan Ziya malah membuat Abi tidak bahagia.”

Tak lama terlihat jari-jari Abi yang mulai bergerak. “Nak,” Suara Abi dalam selang tersebut. “Abiii… Bi, Ziya mau pergi ke Mesir. Memulai kuliah dari nol lagi. Ziya mau jadi penerus kakek. Ziya mau memperdalam ilmu agama.”

Mata Abi berbinar, dan tanganya yang lemas mampu mengelus kepala buah hati sulungnya itu. Tampak senyum yang begitu bahagia dari wajah tua itu. Abi terus tersenyum bahagia sembari menatap lekat sang buah hati. Dan senyum itu semakin lebar, Ziya memeluk erat sang Abi, hingga tak sadar denyut nadi itu telah berhenti bersama senyum hangat terakhirnya.