Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang terus berada dalam keuntungan. Dalam keuntungan usaha, lancar belajar, keluarga yang rukun, hingga kesuksesan di akhirat. Perasaan seperti ini tentunya lumrah dan fitrah bagi setiap manusia.

Sayangnya, ada sebagian orang yang ketika menginginkan hal-hal di atas, justru menempuh cara-cara yang dilarang oleh agama. Semisal pesugihan, menggunakan jimat-jimat yang dilarang, atau mengamalkan amalan lainnya yang tidak diperbolehkan oleh syari’at.

Di sisi lain, sebetulnya, jika kita ingin menengok sedikit saja ke dalam agama, tentu kita akan menjumpai solusi hal-hal di atas. Tidak hanya untung di dunia, tapi juga di akhirat.

Berikut ini kami merangkum tiga amalan dari al-Qur’an dan al-Hadits yang bisa menghindarkan kita dari kecelakaan dunia dan akhirat.

Birrul Walidayn

وَّبَرًّۢابِوَالِدَتِىۡ وَلَمۡ يَجۡعَلۡنِىۡ جَبَّارًا شَقِيًّا

Artinya: “dan (aku juga diperintahkan untuk) berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”

Ayat ini menceritakan kisah percakapan Nabi ‘Isa ‘alayhissalam dengan kaum Bani Israil yang menduga bahwa Sayyidah Maryam ‘alayhassalam telah melakukan perbuatan zina.

Maka, Nabi ‘Isa yang ketika itu masih berada dalam buaian pun menyampaikan mukjizat pertamanya, yaitu bisa berbicara. Beliau menjelaskan bahwa dirinya adalah hamba Allah ‘Azza wa Jalla sekaligus nabi-Nya, serta menjelaskan apa saja perintah Allah kepada beliau.

Diantara perintah Allah kepada beliau adalah untuk berbakti kepada ibunda beliau, Sayyidah Maryam ‘alayhassalam. Beliau pun menjelaskan juga bahwa Allah tidak menjadikan beliau sebagai orang yang sombong, tidak pula sebagai orang yang celaka.

Apabila kita ingin mentadabburi perkataan Nabiyullah ‘Isa alayhissalam ini, kita akan menemukan korelasi dari perintah-perintah Allah kepada beliau dengan selamatnya beliau dari golongan orang yang celaka.

Di dalam hadits-hadits Nabi sendiri, disebutkan banyak sekali keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, diantaranya adalah balasan yang disegerakan di dunia berupa dilapangkan rezekinya.

Dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيَنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”

Di sisi lain, durhaka kepada mereka berdua adalah sumber kesengsaraan di dunia dan akhirat. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan bahwa durhaka kepada orang tua adalah termasuk diantara dosa-dosa paling besar.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قُلْتُ وَمَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قَالَ الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ

Dari Abdullâh bin ‘Amr, ia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasûlullâh, apakah dosa-dosa besar itu ?” Beliau menjawab, “Isyrak (menyekutukan sesuatu) dengan Allâh”, ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Kemudian durhaka kepada dua orang tua,” ia bertanya lagi, “Kemudian apa ?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah yang menjerumuskan”. Aku bertanya, “Apa sumpah yang menjerumuskan itu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah dusta yang menjadikan dia mengambil harta seorang muslim”. (HR al-Bukhâri, no. 6255)

Berbakti kepada Orang Tua yang Sudah Meninggal

Lalu bagaimana apabila seseorang sudah kehilangan kedua orang tuanya karena meninggal dunia? Jawabnya, masih bisa, dengan mendoakan, bersedekah atas namanya, ataupun beramal shalih lainnya dengan mengatasnamakan kedua orang tua.

“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664)

Sedekah sebagai Penghindar Bala

Sedekah artinya pemberian kepada orang lain yang tidak terbatas dengan waktu ataupun jumlah. Ia juga tidak melulu berbicara mengenai harta. Sedekah lebih luas dari itu. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

Artinya: “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 6021)

Akan tetapi, ketika kita berbicara mengenai sedekah yang bersifat harta, maka sudah jamak diketahui bahwa sedekah memiliki banyak sekali keutamaan yang disebutkan oleh Nabi dalam sabda-sabdanya dan dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab yang mereka tulis.

Keutamaan tersebut mulai dari penghapus dosa, harta tersebut menjadi naungan di akhirat, pelipat ganda harta, sebagai wasilah penyembuh dari penyakit, termasuk juga untuk menghindarkan sang dermawan dari celaka.

Ibnu Abil Ja’di rahimahullah, seorang tabi’in sekaligus perawi hadits ternama, pernah berkata yang artinya, “Sesungguhnya sedekah itu dapat menangkal tujuh puluh pintu keburukan.”

Tentu saja pernyataan Ibnu Abil Ja’di ini bukan tanpa alasan. Selain adanya isyarat-isyarat dalam hadits Nabi mengenai hal ini, sudah banyak sekali orang yang membuktikan akan salah satu keutamaan sedekah ini.

Bahkan Ibnul Qayyim, dalam Al-Wabil Ash-Shayyib, menyebutkan, “Sedekah itu memiliki efek yang sangat mengagumkan dalam menolak celaka, efek ini juga berlaku terhadap orang fasik, zalim, bahkan orang-orang kafir. Sesungguhnya Allah Ta’ala menghindarkan mereka dari berbagai macam celaka dengan sebab sedekah. Perkara ini juga sudah diketahui oleh semua orang, baik yang ‘alim maupun ‘awam…”

Berdo’a

Dalam mengejar suatu target, setiap mukmin dituntut untuk mengerjakan tiga hal, yaitu usaha, doa, dan tawakkal kepada Allah Ta’ala. Ini menunjukkan, seharusnya berdo’a kepada Allah dalam segala aktifitas kita adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan.

Sayangnya, belum banyak yang paham bahwa Allah tidak melulu menjawab do’a dengan apa yang dipinta. Tapi bisa juga dengan cara-cara yang lain.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda dalam menjelaskan bagaimana Allah menjawab do’a-do’a muslim.

“Tidak ada seorang muslim yang berdoa suatu doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan memutuskan tali silaturrahim, kecuali Allah akan memberikan karena doa itu salah satu dari tiga keadaan; bisa saja doanya disegerakan, bisa juga Allah simpan untuknya di akhirat dan bisa juga Allah hindarkan dia dari keburukan semisalnya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana jika kami memperbanyak doa.” Beliau menjawab, “Allah lebih memperbanyak lagi.” (HR. Ahmad)

Nah, ketika kita sudah paham akan hal ini, maka kita akan memiliki pola pikir yang sama dengan Nabi Zakaria ‘alayhissalam mengenai do’a, yaitu tidak akan merasa kecewa dalam berdo’a kepada Allah, karena yakin bahwa Allah akan memberi jawaban terbaik bagi diri kita.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Zakaria, di dalam surat Maryam ayat ke-empat yang artinya,

“Ia berkata ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku…’”