Bagaimana Sebuah Mazhab itu Terbentuk?

Oleh: Yendri Junaedi, Lc., MA.
(Alumni S2 Universitas Al-Azhar dan Pimpinan Perguruan Thuwailib Padang Panjang)

Pernahkah kita bertanya, kenapa mazhab fikih dalam Islam itu hanya ada empat saja? Mazhab Hanafi diprakarsai oleh Imam Abu Hanifah; mazhab Maliki diprakarsai oleh Imam Malik bin Anas; mazhab Syafi’i diprakarsai oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dan mazhab Hanbali diprakarsai oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.

Apakah hanya empat orang itu saja yang hebat dalam fikih sepanjang sejarah Islam? Kenapa tidak ada misalnya mazhab ‘Bakriyyah’ (nisbah kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.), mazhab ‘Umariyyah (nisbah kepada Umar bin Khattab r.a.) atau mazhab Hasaniyyah (nisbah kepada Hasan al-Bashri), mazhab Sa’idiyyah (nisbah kepada Sa’id bin Musayyab), mazhab Zuhriyyah (nisbah kepada Ibnu Syihab az-Zuhri) dan sebagainya.

Bukankah Sa’id bin Musayyab dan Ibnu Syihab az-Zuhri adalah guru para imam yang empat itu (baik langsung maupun tidak langsung)? Tentu mereka lebih alim dan fakih, tapi kenapa tidak ada mazhab yang dinisbahkan kepada mereka?

Yang penting kita pahami adalah bahwa istilah ‘mazhab’ meskipun bisa diartikan dengan pendapat (seperti dalam kalimat : هذا ما ذهب إليه فلان “ini pendapat si fulan”) tapi sesungguhnya pengertian mazhab tidak sesederhana itu.

Anda memang bisa mengatakan, “Mazhab saya tentang bahagia adalah bahagia itu sederhana…” Atau misalnya mengatakan, “Mazhab saya dalam hidup ini ‘terhimpit ingin diatas, terkurung ingin diluar’….“ dan sebagainya.

Tapi tentu mazhab yang Anda maksudkan di sini hanya berarti pendapat atau pilihan. Boleh jadi apa saja yang Anda sebut sebagai mazhab itu adalah hasil plagiasi, ngambil punya orang atau catut pendapat seorang pakar lalu dinisbahkan pada diri sendiri biar kelihatan hebat.

Sementara mazhab dalam dunia fikih, sesungguhnya terbentuk melalui proses yang panjang. Mazhab bukanlah hasil pikiran seorang remaja yang sedang ‘puber’ ilmu lalu kemudian mendapat keberuntungan sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu imam mazhab. Tidak.

Terbentuknya Mazhab

Mazhab dalam fikih (begitu juga dalam pemikiran) terbentuk melalui serangkaian proses ilmiah yang panjang dan berat, serta seleksi alam yang ketat. Mazhab bisa diibaratkan seperti sebuah madrasah besar yang menjadi tempat berkumpulnya para ulama yang memiliki pola dan sudut pandang yang relatif sama. Ini tidak berarti mereka selalu sependapat dalam semua hal. Tetap saja ada perbedaan pendapat di antara mereka karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun mereka berangkat dari ushul (pondasi) pemikiran yang sama.

Namun jangan juga dibayangkan bahwa berdirinya sebuah mazhab sama seperti berdirinya sebuah madrasah atau sekolah; dimulai dengan peletakan batu pertama, lalu ada peresmian, kemudian dibuka pendaftaran dan seterusnya. Lalu bagaimana?

Mari kita simak uraian padat Imam Abu Zahrah tentang proses terbentuknya sebuah mazhab berikut ini :

المذهب يقتضي أن يتكون من منهاج علمي لفريق من الدارسين الباحثين ، يبنون فيه أصولا لتفكيرهم متميزة واضحة ، ثم يكون لكل منهاج طائفة أو مدرسة تعتنق هذه الأصول وتدافع عنها وتقويها بموالاة البحث والدراسة

“Mazhab terbentuk dari metode ilmiah sekelompok pengkaji dan peneliti. Di dalamnya mereka menuangkan pondasi berpikir yang jelas dan terarah. Metode yang digagas itu kemudian ‘dianut’, diperjuangkan, dibela oleh sekelompok atau madrasah, dan selalu dikokohkan dengan berbagai kajian dan penelitan yang tak kenal lelah.” (Tarikh al-Madzâhib: 21)

Jadi, keempat mazhab yang masih bertahan sampai saat ini sesungguhnya merupakan empat madrasah besar yang dibangun dari hasil pemikiran dan kajian para ulama sepanjang sejarah. Dan mereka tidak tampil ke gelanggang fikih begitu saja. Mereka adalah hasil tempaan madrasah keilmuan yang turun temurun dari mulai generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan bermuara pada mereka.

Imam Abu Hanifah sendiri merupakan hasil tempaan para ulama ternama dari kalangan tabi’in seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim an-Nakha’iy, asy-Sya’bi, ‘Atha` bin Abu Rabah dan para imam besar lainnya.

Mazhab yang dinisbahkan kepada beliau; Hanafiyyah, sesungguhnya bukan hasil pikiran beliau sendiri, melainkan hasil mudzakarah, mubahatsah dan kajian yang tak kenal lelah antara beliau dengan murid-murid unggulnya seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, dan lain-lain.

Imam Malik bin Anas merupakan hasil binaan dari para ulama ternama di Madinah seperti Salim bin Abdullah bin Umar, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan Fuqaha` Sab’ah (Ahli Fiqih Yang Bertujuh). Mereka adalah Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Ubaid bin al-Harits, al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Sulaiman bin Yasar yang merupakan maula Ummul Mukminin Sayyidah Maimunah binti al-Harits, Kharijah bin Zaid bin Tsabit.

Begitu juga dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Ilmu Fuqaha Sab’ah (Ahli fikih bertujuh) ini diserap oleh dua ulama besar; Muhammad bin Syihab az-Zuhri dan Rabi’atur Rayi. Kedua imam ini merupakan guru utama Imam Malik bin Anas.

Jadi, kalau ada ustaz zaman now mengatakan bahwa, “Pendapat saya tentang masalah A adalah begini-begini…” Lalu ia ditanya, “Siapa guru Anda?” Ia menjawab, “Syekh Fulan…” (seorang ulama di arab sana…), kemudian ditanya lagi, “Guru Syekh Fulan itu siapa?” Ia pun terdiam, karena sanad ilmunya ‘mentok’ sampai di Syekh Fulan itu saja. Kalau ada yang seperti ini maka kita cukup angguk-angguk kepala saja sambil berbisik dalam hati: “Yang begini mau ‘menyelisihi’ para imam mazhab?”

Lalu kenapa mazhab yang diakui itu hanya empat saja?

Pertama, kita telah jelaskan bahwa empat mazhab itu sudah merupakan hasil pemikiran, ijtihad, dan adu argumen para ulama lintas generasi.

Kedua, sejak terjadi fitnah pasca terbunuhnya Khalifah Utsman, banyak bermunculan hadits palsu. Ini tentu berimbas kepada fikih. Karena bagaimanapun materi pokok fikih adalah al-Quran dan Hadits.

Beruntung fikih para sahabat telah direkam dengan sangat baik oleh murid-murid unggul mereka dari kalangan tabi’in, seperti Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Atha`, Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id bin Musayyab, Nafi’, Mujahid dan lain-lain. Ilmu mereka ini yang kemudian diserap oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan seterusnya.

Karena itu, mazhab yang dinisbahkan kepada Umar bin Khattab, misalnya, yang tidak datang dari jalur para imam yang empat, bisa diragukan kevalidannya, kecuali yang datang dengan riwayat yang shahih sebagaimana dirangkum dalam kitab Mushannaf Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah.

Jadi masalah utamanya terletak pada kevalidan penisbahan mazhab kepada para sahabat dan tabi’in tersebut (yang tidak melalui jalur para imam yang empat) karena banyak terjadi al-kadzib (kebohongan) dengan mencatut nama sahabat dan tabi’in. Adapun para imam mazhab, mereka memang sudah mewakafkan diri untuk mengkaji berbagai riwayat dan fikih yang diwariskan oleh para sahabat dan tabi’in. Dan, seperti dijelaskan tadi, mazhab tidak terbentuk atas usaha satu orang saja, melainkan kerja-keras banyak orang, sehingga tingkat kevalidannya lebih meyakinkan.

Ketiga, tidak tertutup kemungkinan, memang, ada ulama yang kemampuannya ‘menyamai’ kemampuan para imam yang empat. Dan mazhab mereka memang pernah eksis. Tapi, sayangnya mazhab mereka tidak dilestarikan dengan baik oleh murid-murid mereka, seperti yang terjadi pada Imam Laits bin Sa’ad di Mesir dan Imam al-Auza’i di Syam. Atau boleh jadi mazhab itu tidak ‘lulus’ seleksi alam, seperti mazhab az-Zhahiri yang bertahan hanya sampai abad ketujuh hijriah saja.

Di samping itu, ada ulama yang sebenarnya bisa membuat mazhab sendiri (mustaqill) seperti Imam Ibnu Suraij, Imam asy-Syairazi, Imam Taqiyuddin as-Subki, Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied, bahkan juga Imam as-Suyuthi. Tapi mereka lebih memilih untuk ‘bernaung’ di bawah salah satu mazhab yang sudah ada. Kenapa? Karena, ketika mereka melakukan ijtihad, ternyata hasilnya tidak jauh beda dengan apa yang telah dihasilkan para imam mazhab yang empat.

Karena kerendahan hati mereka dan jauh dari hubbu asy-syuhrah (cinta popularitas), mereka tetap menisbahkan diri kepada mazhab yang ada. Demikian.

Baca juga: Infiltrasi Akidah Paganisme