Memasuki bulan Rabi’ul Awwal, perayaan Maulid Nabi di berbagai tempat makin ramai dilaksanakan. Mulai dari masjid, surau, sekolah, sampai lapangan-lapangan umum, dibacakan di sana kisah hidup Sang Rasul. Bisa dibilang acara perayaan Maulid Nabi sudah sangat mengakar dan menjadi tradisi di bumi Nusantara. Hal itu dibuktikan dengan antusiasme masyarakat Indonesia dari berbagai usia dan kalangan dalam merayakannya.

Akan tetapi, semua antusiasme itu bukan tanpa pertentangan. Pertanyaan, tuduhan, bahkan cacian dan makian kepada kelompok yang merayakan kerap kita jumpai di tengah-tengah kita, khususnya di jagad media sosial. Atas keresahan itu, daripada sibuk berdebat tidak jelas di kolom komentar Instagram, lebih baik kita hadirkan titik tengah untuk dua kubu yang membolehkan dan membidahkan. Sebelum menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, yuk kita pahami dulu, apa itu bid’ah?

Secara bahasa, bid’ah artinya perkara baru yang sebelumnya tidak ada. Adapun secara istilah, para ulama memiliki definisinya masing-masing. Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (ulama Asy’ari yang juga pembesar Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, baik hal itu terpuji maupun tercela. Sedangkan Syekh Bin Baz (seorang pembesar Salafi/Wahabi abad ke-20 sekaligus Grand Mufti Arab Saudi) mendefinisikan bid’ah sebagai segala bentuk ibadah yang diada-adakan oleh manusia yang tidak ada asalnya/sumbernya baik dari Al-Qur’an, Sunnah, atau perbuatan Khulafaurrasyidin.

Nah, dari dua definisi di atas, muncul pertanyaan baru: emangnya merayakan Maulid Nabi termasuk ibadah?

Sayyid Muhammad Al-Maliki menjelaskan dalam kitab Mafahim bahwa perkumpulan manusia dalam rangka merayakan Maulid Nabi bukanlah sebuah ibadah, melainkan hanya adat semata. Ditambah lagi, nabi pernah berkata bahwa hari raya dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha saja, yang memang di dalam dua hari raya tersebut sudah lengkap tuntunannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Maka sudah jelas titik temu antara kubu yang merayakan Maulid dan membidahkan perayaan Maulid. Jika kelompok yang merayakan Maulid Nabi beranggapan bahwa itu termasuk ibadah, maka selama ini tudingan terhadap mereka sebagai ahlul bid’ah tidak sepenuhnya salah, karena memang nyatanya tidak ada kewajiban atau kesunnahan tertentu pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Namun, jika mereka menganggap perayaan itu hanya sekedar adat dan bukan ibadah, maka jelas itu bukan bid’ah, karena apa yang bisa dibidahkan dari sesuatu yang bukan ibadah?

Sekali lagi menjawab pertanyaan di judul untuk mempertegas, jawaban singkatnya adalah tergantung bagaimana perayaan Maulid Nabi ini dianggap. Jika dianggap sebagai ibadah pokok, maka iya, itu bid’ah, namun jika sebaliknya, maka itu bukan bid’ah.

Yang terpenting dari semuanya, mari kita jaga ukhuwah bersama dan tidak menghabiskan energi untuk hal-hal yang kurang produktif. Setiap menit yang kita habiskan untuk berdebat di internet nyatanya bisa dipakai untuk menuntut ilmu. Jika semuanya menjadi alim karena rajin belajar, pasti tidak akan ada yang namanya debat kusir. Bukankah sungguh indah jika sesama umat Muslim saling mengasihi dan menghargai perbedaan pendapat?

Sekarang coba bayangkan Nabi Muhammad SAW ada di hadapan kita dan menyaksikan kita berdebat satu sama lain terkait merayakan kelahirannya. Kira-kira bagaimana ekspresi yang muncul dari wajah indah Sang Rasul?

Dengan modal membaca sejarah hidupnya, saya yakin Rasulullah SAW tidak akan menyalahkan siapapun di antara kita, baik yang merayakan maupun yang menolak, itu semua karena sudah nyata sifat kasih sayang pada dirinya. Pun beliau juga pasti mengerti, baik yang merayakan atau tidak, sama-sama memiliki satu alasan yang sama; yaitu atas nama kecintaan padanya. Yang merayakan beralasan “kami cinta junjungan kami, maka dari itu kami sambut kelahirannya dengan banyak bersalawat dan membaca kisah hidupnya,” sementara yang menolak perayaan Maulid juga beralasan “kami cinta teladan kami, maka dari itu kami manut kepadanya dengan tidak melakukan apa yang tidak beliau perintahkan.” Atas dasar itulah sudah selayaknya kita mencintai satu sama lain dan menghentikan caci maki satu sama lain, karena pada akhirnya kita semua adalah umatnya SAW.

Satu hal terakhir yang tidak kalah penting, kami berharap kepada para panitia pelaksana Maulid Nabi untuk selalu memastikan agar acaranya sesuai dengan koridor syariat. Hindari campur baur laki-perempuan, jangan menghalangi jalanan umum, dan selalu jaga kebersihan. Semoga kelak kita semua mendapat syafaat dari Sang Nabi tercinta. Amin!

Penulis: Muhammad Rifky Handadari, Lc.
Mahasiswa Universitas Al-Azhar