Akidah secara bahasa berasal dari kata ‘aqada yang artinya mengikat. Sedangkan secara istilah ia adalah keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang diyakininya. Dari sini maka seseorang yang berakidah Islam artinya ia meyakini Islam dan segala hal yang datang darinya, serta terikat dengannya. Akidah Islam mencakup keimanan kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-nya, Rasul-Nya, hari kiamat, serta Qadha dan Qadar-Nya.
Adapun makna iman adalah at-tashdiq al-jazim al-muthabiq lilwaqi’ al-qaim ‘an dalil (pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta, dan berlandaskan dalil (baik aqli maupun naqli)). Maka, seseorang dikatakan beriman ketika ia membenarkan secara pasti rukun iman yang enam, serta memiliki dalil yang dapat membuktikan pembenarannya.
Keimanan harus berlandaskan dalil. Maka dipahami bahwa iman bertolak belakang dengan taklid. Karena taklid adalah mengikuti/menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Dengan definisi ini, orang yang bertaklid dalam akidah/iman pada dasarnya belum dikatakan berakidah/beriman. Seperti halnya orang yang mengaku beriman dan berislam hanya karena mengikuti agama orang tuanya/nenek moyangnya, tanpa mengetahui dalil kebenaran imannya atau kenapa ia harus beriman dan berislam.
Para ulama bersepakat mengenai tidak bolehnya bertaklid dalam akidah. Hanya saja, terkait sah ataukah tidak keimanan orang yang bertaklid ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan ada khilaf di dalamnya, sebagian yang lain mengatakan tidak. Ada yang mengatakan tidak sah dan dihukumi kafir, ada juga yang tidak sampai mengkafirkan.
Terlepas dari sah atau tidaknya keimanan orang yang bertaklid, taklid dalam keimanan itu berbahaya. Ketidaktahuan seseorang terhadap dalil keimanan membuatnya tidak meyakini kebenaran iman dan tidak berpegah teguh atasnya. Maka, tidak heran jika kita mendapati seorang yang sudah muslim dari lahir, tapi ia tidak yakin dengan agamanya sendiri atau bahkan berpindah-pindah keyakinan dengan mudahnya. Begitupun dengan orang yang beranggapan bahwa semua agama itu benar atau agama hanya sekadar formalitas
Selain itu, taklid dalam akidah juga bisa menghantarkan kepada kesesatan, kesyirikan, dan penolakan terhadap kebenaran. Seperti halnya yang terjadi kepada para pengikut agama nenek moyang. Allah Ta’la berfirman:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَا لَوْا اِلٰى مَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ قَا لُوْا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَآءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَآؤُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ شَيْـئًـا وَّلَا يَهْتَدُوْن
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul. Mereka menjawab, Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya). Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (TQS. Al-Ma’idah 5: Ayat 10)
Mereka meyakini keyakinan nenek moyang mereka, tanpa mengetahui dan berfikir apakah keyakinan tersebut benar atau salah. Mereka beribadah dengan ibadah nenek moyang mereka, tanpa memahami apakah ibadah yang dilakukannya benar atau salah. Mereka jatuh pada kesesatan, kesyirikan, dan menolak kebenaran karena tidak menggunakan akal mereka dalam mencari kebenaran.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Imam Ibnu Qayyim berpendapat bahwa yang dimaksud dari fitrah dalam hadits adalah potensi keislaman atau potensi untuk menerima kebenaran. Pendapat ini adalah pendapat yang paling selaras dengan fakta yang ada. Di mana, setiap manusia lahir dengan potensi akal, yang akan bisa digunakan secara sempurna ketika sudah menginjak usia baligh.
Allah menganugerahkan potensi akal/berfikir kepada manusia. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yang jika digunakan dengan benar akan menghantarkan seseorang kepada kebenaran dan keimanan. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan posisi akal dalam keimanan, di antaranya:
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْاَمْرَۗ مَا مِنْ شَفِيْعٍ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اِذْنِهٖۗ ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْهُۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy (seraya) mengatur segala urusan. Tidak ada seorang pun pemberi syafaat, kecuali setelah (mendapat) izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu. Maka, sembahlah Dia! Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)
اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ
“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30)
وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۙ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرٰتٌۢ بِاَمْرِهٖۗ اِنَّ فِي ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَۙ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (TQS. An-Nahl: 12)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa keimanan dilandasi dengan akal. Dengan artian, ada perintah untuk berpikir dan melandaskan keimanan dengan berpikir. Maka, tidak boleh bagi manusia yang memiliki akal yang sempurna untuk bertaklid dalam akidah, melainkan wajib baginya untuk menggunakan akalnya dalam mencari kebenaran iman dengan mengetahui dalil-dalilnya. Wallahu ‘alam bishshawaab.
Penulis: Nida Ramadhani Zahra
Mahasiswi S2 Universitas Al-Azhar